Oleh : Khafid Sirotudin
Bakul Pasar adalah sebutan untuk pedagang yang biasa berjualan di Pasar Tradisional. Undang-undang nomor 7 tahun 2014 menyebutnya sebagai Pasar Rakyat. Pasar telah berdiri jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Pasar merupakan warisan budaya bangsa yang bertahan dan tumbuh sejalan perkembangan jaman. Pasar Djohar di Semarang dan Pasar Gedhe di Solo adalah bukti sejarah keberadaan Pasar Tradisional. Bahkan Pasar Johar pernah dinobatkan sebagai pasar Terbesar se Asia Tenggara pada jamannya.
Ekosistem pasar rakyat tidak hanya memiliki dimensi ekonomi, namun juga dimensi sosial budaya, lingkungan, agama dan peradaban. Jiwa kewirausahaan (sense of entrepreneurship) yang ditekuni bakul pasar beserta pemangku kepentingan (stakeholders) menghasilkan budaya kejujuran, keadilan ekonomi, kemandirian, gotong royong, welas asih, asah asuh dan sebuah perniagaan yang berwatak sosial religius. Berbeda dengan relasi bisnis-ekonomi dan peradaban pada pasar modern (mall, mart-mart, marketplace, dll) yang kapitalistik dan liberalistik.
Saya bersyukur sekaligus bangga dilahirkan dari keluarga bakul pasar. Sejak usia SD kelas 3-4 saya sering berkunjung di loos pasar milik orang tua. Suwargi bapak dan ibu Hj. Mubayanah (86 tahun) adalah bakul Pasar Weleri sejak 1969 hingga saat ini. Saya selalu diseberangkan oleh tukang becak yang mangkal di depan pasar. Lalu lintas jalan raya ramai sekali, apalagi saat “mremo” bulan puasa dan “pasar kembang” 2 hari menjelang Idul Fitri tiba.
Jaman saya kelas 4 di MI/SD Muhammadiyah Weleri, sekolah libur selama bulan ramadhan. Saya biasa “nebeng” di pojok loos milik ortu jualan kembang api, mercon “ses-thor” dan mercon bantingan serta tas plastik wadah belanja. Waktu itu tas plasik “kresek” belum menjadi bagian dari pelayanan bakul pasar. Lumayan hasil mremo sebulan bisa buat beli baju dan celana jeans saat lebaran.
Setelah Pasar Weleri terbakar ludes 12 November 2024, ibu kami memilih berjualan di rumah Kedonsari, Kampung Solo, Weleri. Jualan ibu saya “putihan”, sebutan untuk bakul pasar yang menjual berbagai jenis kain, pakaian, seragam, batik hingga kasur. Sedangkan suwargi bapak Damanhuri Siroj (wafat 1999), selain berdagang putihan juga usaha sampingan bertani padi dan berdagang kopi, cengkeh dan hasil bumi lain. Saya menyebutnya sebagai PJKA (petani padi, pedagang pete, jengkol, jeruk, kopi-cengkeh, kolang-kaling).
Pada usia SMP, saya mulai diajak menemani bapak kulakan ke pasar Johar di Semarang atau Pekalongan. Saat SMA, saya sering mengunjungi PM (Pasar Maling) salah satu sudut Pasar Johar yang menjual aneka sepatu bekas (prelove shoes) branded. Kualitasnya bagus dan harga lebih murah daripada sepatu baru merk lokal. Terkadang saya membeli berdasarkan pesanan teman sekolah di SMA Muh1 Weleri. Cukup lumayan mendapatkan cuan (keuntungan) buat tambahan uang jajan.
Jika berkunjung ke Pasar Johar, saya selalu menempatkan dompet di saku kiri celana bagian belakang. Hal itu semacam “kode etik” yang berlaku bagi pencopet di sana. Semacam pesan tertulis di belakang bus DAMRI (Djawatan Mobil Republik Indonesia) : “Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului”. Pengalaman tersebut saya dapatkan setelah sering berinteraksi dengan koh dan tacik pemilik toko tempat kulakan, kuli bongkar muat dan pelajaran dagang dari suwargi bapak.
Copet adalah perbuatan mencuri uang atau barang berharga dari seseorang tanpa membuat korban mengetahui jika uang dan barang berharga mereka dicuri pada saat itu. Biasanya korban pencopetan baru menyadari jika uang atau barangnya hilang setelah beberapa saat pencopet menghilang dari pandangan. Kelengahan, abai, “nderah” dan “ora nggalbo” (Jawa : terlena, tidak peduli dan waspada diri) merupakan situasi dan kondisi sasaran yang paling diincar pencopet.
Dalam bahasa Melayu, pencopet biasa disebut Penyeluk Saku, bahasa Inggrisnya Pickpocketer. Mengapa disebut penyeluk saku? Sebab saku celana belakang merupakan tempat atau sasaran pencopet yang paling jamak ditemukan. Jika maling, perampok, penjambret umumnya dilakukan pada situasi dan kondisi yang sepi, tidak demikian dengan copet. Pencopet justru melakukan di tempat keramaian, terbuka dan banyak orang.
Copet biasa beroperasi di sarana transportasi umum (Bus, Angkota, Kereta Api, Kapal, dll), mall dan pasar tradisional (pasar rakyat). Juga di berbagai keramaian umum seperti pasar malam, konser musik di alun-alun dan lapangan, serta kerumunan pengantar calon jamaah haji ketika pelepasan di Pendopo Kabupaten maupun di depan pintu gerbang asrama haji. Untuk kasus yang terakhir ini biasanya pencopet “macak” (berpenampilan) seperti layaknya pengantar haji pada umumnya.
Pencopet biasanya bekerja dalam tim kecil 2-3 orang, meski ada juga yang sendirian. Pernah di tahun 1990-an, saya naik bus umum dari Batang menuju Weleri setelah Maghrib dan duduk di kursi paling belakang. Sampai di depan pangkalan truk Penundan, bus menaikkan seorang penumpang. Saya mengenal orang yang baru naik bus tersebut sebagai pencopet pasar Weleri.
_”Jemo ngendi kas (Darimana mas)?”_ tanya saya tersenyum saat dia mau duduk disampingku.
“Biasa kas ngokce ro magem (Biasa mas minum sama medok)”, jawabnya sambil melirik wajah saya. Penundan selain dikenal sebagai pangkalan truk juga lokalisasi di Kabupaten Batang.
“Ngamu ngarep jim kas (Aku ke depan dulu mas)” katanya sambil berdiri berpindah duduk ke deretan kursi bagian depan. Kulihat dia membayar ongkos kepada kondektur bus.
Sampai di depan Pasar Plelen Gringsing, saya lihat dia turun dari bus sendirian dan tidak ada penumpang lain yang turun. Selepas jembatan Kalikuto, saya berjalan ke depan mendekati sopir persiapan turun di depan Pasar Weleri. Ada 4 penumpang yang akan turun, salah satunya orang yang tadi duduk disamping penumpang yang barusan turun di Pasar Plelen. Begitu turun dari bus rupa-rupanya penumpang itu baru sadar jika dompetnya kecopetan.
Puluhan tahun hidup di lingkungan pasar dan keluarga bakul pasar banyak memberikan pelajaran penting soal bisnis, perdagangan, sosial budaya dan peradaban. Saya menyaksikan banyak bakul gedang (pisang) dan sayuran memakai gelang emas rentengan di kedua tangan. Atau bakul pasar putihan yang meninggalkan dagangannya untuk menunaikan shalat Dhuhur dan Ashar di mushola atau pergi ke toilet di dalam pasar. Tetapi saya belum pernah mendengar atau menyaksikan bakul pasar kecopetan. Hanya satu dua bakul yang pernah menjadi korban “pengutilan” oleh oknum pembeli di saat pasar ramai sekali. Itupun tidak dilakukan pencopet yang biasa beroperasi di lingkungan pasar.
Meskipun jumlah bakul pasar ribuan, tetapi tukang becak, kuli bongkar muat (porter), tukang parkir dan pencopet sudah “biso rumongso” (bisa merasakan), saling ta’aruf dan tafahum (mengenal dan memahami), serta memegang teguh etika bisnis dan sosial yang berlaku. Yakni berupa nilai-nilai kejujuran, semangat gotong royong, tolong-menolong, kekeluargaan, tidak saling merugikan, kerjasama dan keadilan sosial ekonomi dalam usaha menjemput rejeki “palilahe” (keridhaan) Gusti Allah.
Suatu ketika, saya pernah bertemu “preman sadar” di sebuah masjid saat sembahyang Jumat. Saya mengenali dia sebagai pencopet, karena pernah dimintai tolong teman yang kecopetan di pasar. Melalui bantuan jasa baiknya, dompet milik teman kami bisa kembali beserta surat-surat penting (KTP, SIM, Kartu ATM) dan uang yang sudah dipotong 20 persen. Bisa jadi si pencopet dompet menganggap dirinya seorang petugas amil zakat yang berhak memungut zakat ghanimah (harta rampasan perang). Pernahkah anda mengetahui kondektur bus dan bakul pasar kecopetan ?.
Wallahu’alam
Weleri, 5 Oktober 2024
_*) Bidang Hukum dan Advokasi Pedagang DPD APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) Jawa Tengah, Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah_